Pelabuhan Singkil; Bandar Niaga Internasional di Pantai Barat Aceh
Singkilnews.id-Berdasarkan catatan sejarah dan fakta, sejak dulu hingga sekarang, Aceh Singkil memiliki potensi sumber daya alam yang luar biasa.
Menurut Tome Pires, seorang penjelajah Portugis dalam Suma
Oriental, pada abad ke-7 hingga ke-19 di Singkil terdapat pelabuhan atau bandar
niaga teramai dan tersibuk di pantai barat Aceh.
Bandar ini banyak disinggahi kapal-kapal asing dari Eropa,
Amerika, Afrika, dan Timur Tengah. Tak ketinggalan kapal-kapal domestik dari
Tiku, Pariaman, dan kapal dari belahan timur Indonesia. Tak heran jika setiap
hari di bandar ini, terjadi integrasi dan transaksi dagang antarsaudagar
(pedagang) dunia.
Dari berita Cina, Ruban Levy, terungkap, bahwa Raja
Mu’awiyah bin Abi Soufyan pada tahun 34 H (654/655) mempunyai lima ribu unit
kapal.
Kapal-kapal ini telah berlayar menelusuri Kanton (kota
pelabuhan) di Cina, Kalingga (Pantai Coromandel), Madras India sampai ke
Samudera Indonesia (Pantai Barat Sumatera) termasuk Bandar Singkil.
Banyaknya bersandar kapal-kapal dari mancanegara di Bandar
Singkil karena didukung letak Singkil yang sangat strategis secara geografis.
Iklan Gulir untuk MelanjutkanSingkil terletak di pesisir
pantai kawasan Samudera Hindia sehingga Singkil berada dalam lintas dan jalur
perdagangan internasional.
Menurut catatan sejarah, di Singkil ada tiga tempat bandar
(pelabuhan) utama. Di sebelah utara ditarik garis sampai ke barat Ujung Bawang,
di sebelah timur, pohon yang tinggi, di sebelah barat arah ke selatan dekat
jalan ke Singkil (depan benteng Singkil). Kapal-kapal bisa berlabuh di dermaga
dengan kedalaman 5 vadem sampai 10 vadem.
Di bandar ini, para saudagar melakukan transaksi dagang
hasil bumi seperti lada (merica), kapur barus, damar, kemenyan, dan
rempah-rempah lainnya. Hasil bumi ini diekspor ke berbagai negara termasuk ke
Amerika Serikat (A. Doup 1899).
Masa Keemasan
Tak dapat disangkal, Bandar Singkil ketika itu merupakan
kekuatan perdagangan terbesar di kawasan pantai barat selatan.
Akselerasi Bandar Singkil yang dibangun mengalami titik kulminasi (tertinggi). Kehebatan bandar ini membuat negara-negara lain merasa perlu untuk menjadikan Singkil sebagai poros perekonomian dan niaga di bagian barat selatan Aceh.
Tentang kehebatan Bandar Singkil ini dalam sebuah memori
dinukilkan, nilai ekspor barang dikirim melalui Pelabuhan Singkil pada tahun
1851 mencapai sekitar 300 ribu gulden.
Barang-barang yang paling bernilai diekspor, yaitu lada,
minyak nilam, damar, karet, gambir, kelapa, rotan, madu, kapur barus dan
sebagainya.
Di Bandar Singkil, arus pertukaran barang sangat tinggi.
Bangsa India, lewat orang Gujarat berdagang di situ dengan bangsa Melayu dan
orang-orang dari timur Nusantara. Mereka bertukar kain dan nila dengan
rempah-rempah dan kapur barus.
Bangsa Cina membawa teh, sutra, dan porselin bertukar barang
perak dan perunggu dengan orang-orang Jepang. Orang Eropa menukar mata uang
mereka dengan rempah-rempah yang murah dan menjualnya kembali dengan harga yang
sangat tinggi di negaranya.
Arus pertukaran barang berlangsung cepat dan mencakup
wilayah yang semakin luas.Keadaan itu telah mendorong pertumbuhan Bandar Singkil
menjadi pelabuhan besar, terkait dalam jalur pelayaran dan perdagangan
antarbangsa.
Kedatangan orang-orang asing telah membuat Bandar Singkil
makin ramai dihuni banyak suku bangsa. Keramaian dan eskalasi Bandar Singkil
mulai diperhitungkan sebagai salah satu pusat dagang paling penting di Asia.
Saking ramainya perdagangan di Bandar Singkil, banyak
pekerja dari daerah lain yang berdatangan. Kondisi ini memunculkan istilah di
kalangan masyarakat, “Saya mau pergi ke Rantau Barat.” Ini berarti, pergi ke Singkil
untuk mencari nafkah, menjadi buruh dan bercocok tanam (Snouck Hurgorunje:
1906).
Jadi, dapat disimpulkan, sekitar abad ke-7 sampai abad
ke-19, Singkil tergolong daerah yang sangat maju. Bahkan bisa dikatakan,
mengalami masa keemasan di bidang ekonomi dan perdagangan.
Saudagar dari Aceh Darussalam
Hasil bumi yang melimpah ruah yang diboyong dan
diperdagangkan di Bandar Singkil ini tidak saja dibeli oleh pedagang dari luar
negeri. Namun, banyak pula dibeli oleh saudagar-saudagar dari pusat Kerajaan
Aceh Darussalam, Banda Aceh. Malah, pedagang utusan Iskandar Muda, turut serta
berdagang lada di Singkil.
Dari catatan sejarah, Iskandar Muda menyuruh wakilnya yang
berada di pantai barat Sumatera (Singkil) untuk mengumpulkan lada sebanyak
mungkin di Bandar Singkil.
Setelah terkumpul, lantas diangkut dengan perahu melalui
laut ke Banda Aceh. Setelah sampai di ibu kota kerajaan, lada tersebut dijual
mahal kepada saudagar-saudagar dari luar negeri yang telah berada di Bandar
Aceh.
Dalam lintas perdagangan antara Bandar Singkil dengan Bandar
Aceh ternyata tidak selalu berjalan mulus. Terjadi berbagai dinamika seperti
adanya penyelewengan yang dilakukan pedagang domestik. Mereka secara
sembunyi-sembunyi menjual hasil bumi kepada pedagang asing karena tawaran
harganya lebih tinggi. Dampaknya jumlah lada yang diangkut ke Bandar Aceh Aceh
setiap tahunnya menjadi berkurang.
Di samping itu, terjadi pula perebutan dan monopoli sejumlah
komoditas di antara negara-negara Eropa, Afrika, Amerika, dan Timur Tengah. Hal
ini membuat suasana perdagangan menjadi kacau dan sulit. Sementara elemen dan
regulasi yang menertibkan perdagangan ini belum ada.
Untuk menyiasati hal ini, Iskandar Muda melakukan beberapa
tindakan, yaitu melarang pedagang-pedagang asing mendirikan kantor dagang
mereka di pelabuhan Pantai Barat Sumatera yang termasuk di bawah kekuasaan
Kerajaan Aceh.
Semua perdagangan lada hanya berlangsung atau
disentralisasikan di ibu kota Kerajaan Aceh. Kemudian Sultan juga mengirim
panglima ke sana.
Siasat yang dilakukan Iskandar Muda berjalan lancar dan
membuahkan hasil yang gemilang. Sejak itu, aliran komoditas dagang pun mulai
lancar.
Setelah mengalami kemajuan dan kemakmuran selama
berabad-abad, Pelabuhan Singkil secara berangsur-angsur mengalami kemunduran
seiring dengan munculnya bandar baru di belahan timur Singkil seperti di
Sibolga, Teluk Bayur, dan Belawan serta belahan barat Singkil seperti Susoh,
Meulaboh, dan Bandar Aceh.
Ditambah lagi, adanya perubahan-perubahan alam pada wilayah
Singkil akibat terjadi gempa bumi dan tsunami. Pada awal akhir abad ke-21
fungsi Singkil sebagai kota dagang mulai berkurang.(red)
Sumber:AceHTrend.com
penulis:Sadri Ondang Jaya