Ini kata mahasiswa Di Lhokseumawe,Tentang isu pembangunan Rumah budaya Pak-Pak di kota Subulussalam,
https://www.singkilnews.id/2019/11/ini-kata-mahasiswa-di.html
Himpunan mahasiswa perantauan kota sada kata (HIMAPAKOSAKA)di Lhokseumawe aceh utara |
Dalam Relis pers di terima singkilnews.id,Rabu(13/11/2019),memintak kepada pemerintah kota subulussalam agar lebih mempertimbangan setiap keputusan-keputusan yang akan dibuat, mengingat masalah suku merupakan salah satu faktor yang sangat sensitif dikalangan masyarakat.
tidak terkecuali masyarakat yang ada di Bumi Syekh Hamzah
Fansyuri yang merupakan terdiri dari berbagai suku, sehingga dalam hal ini
menimbulkan Pro dan kontra ditengah-tengah masyarakat kota Subulussalam saat
ini,”kata supardi.
Kita sama-sama mengetahui bahwa sejatinya kota subulussalam
itu sendiri dikenal dengan suku dan kebudaya Singkilnya, dan pertama kali
diperkenalkan kemasyarakat luar bahwa kota Subulussalam itu sendiri identik
dengan suku dan kebudayaan singkil, dimana ketika pertama kali Subulussalam
pisah dari kabupaten Aceh Singkil, para pendahulu kita dulu sepakat bahwa
bahasa daerah itu sendiri bahasa Singkil.
dan takhi dampeng takhi suku singkil-subulussalam dan makanan
khasnya itu terdiri dari Delawakh, Sikhup Godekh dan sebagainnya, sehingga
dalam hal ini timbul kecemburuan sosial terhadap masyarakat suku singkil yang
ada diKota Subulussalam.
Para mahasiswa itu berpendapat dalam kasus ini, masyarakat
suku singkil yang tidak setuju dengan pembangun itu, bukan karena merasa takut
disaingi, bahkan mereka sendiri secara pribadi merasa sangat senang, apa bila
kebudayaan-kebudayaan yang ada disubulussalam dilestarikan dan lebih
diperhatikan, dengan syarat harus menyamaratakan kedudukan ras, suku dan
budaya, serta tetap mengikuti aturan dan kebijakan yang memang sudah dibuat dan
sipakati oleh pendiri-pendiri sebelumnya tanpa harus merubah tatananya secara
berlebihan, lebih-lebih dibidang suku dan budaya. karena itu merupakan warisan
nenek moyang kita dulu.
tetapi ia menilai kemarahan suku singkil dengan tindakan
ketidak setujuan mereka dalam pembangunan Rumah Kebudayaan Pak-Pak itu di
bangun karena ada keterkaitan dengan acara Pekan Kebudayaan Aceh (PKA), dimana
kontingen kota Subulussalam yang memang selalu ikut serta dalam festival 4
tahunan Aceh tersebut. Mengejutkan masyarakat kota Subulussalam dengan berbagai
macam kejadian yang janggal seperti makanan khas Peleng, dan baju pak-pak dan
sebagainya, yang secara tiba-tiba ditampilkan dalam festival tersebut, dimana
pada tahun-tahun sebelumnya itu tidak pernah terjadi sehingga menimbulkan
kekecewaan ditengah-tengah masyarakat suku singkil, sehingga masyarakat suku
singkil menolak pembangunan tersebut karena takutnya nanti, ada
perubahan-perubahan tatanan suku dan kebudayaan yang sudah diwarisi nenek moyang
sejak zaman dahulu, yang tidak bisa diganggu gugat,”tegas nya.
Mengingat Wali Kota saat ini adalah asli suku Pak-Pak,
Alangkah baiknya jika beliau juga melihat dan lebih mementingkan kerukan suku
dan budaya yang ada di kota Subulussalam.
Ia berpesan meskipun pembangunan tersebut bukan keinginan
wali kota khususnya pemerintah kota itu sendiri, melainkan usulan dari salah
satu tokoh masyarakat subulusaalam, dan tidak memakai dana APBK kota
subulusalam yang sifatnya tidak mengikat, wali kota subulussalam harus bijak
dalam mengabil keputusan nantinya agar tidak terjadinya hal-hal yang tidak kita
inginkan, itu juga dilakukan untuk menjaga nama baik beliau sendiri, karena
kejadian sebelumnya yang membuat hati masyarakat suku singkil kecewa.
Ia juga menambahkan jika memang niat dari pemerintah kota
secara perlahan ingin melestarikan dan menjaga ras, suku dan kebudaya yang ada
dikota subulussalam sebaiknya pemerintah kota tetap mendukung pembangunan
tersebut tetapi tidak terfokus kepada satu suku saja, melainkan pembangunan
Rumah Kebudayaan terhadap semua suku-suku yang ada disubulussalam yang nantinya
menjadi nilai plus dan menjadi keuntungan bagi pemerintah kota,”kata Supardi.(red/sukri malau)