Direktur LSM CHK Dukung Bupati Aceh Singkil,Pimpinan DPRK silahkanTempuh Jalur Hukum


foto:Direktur LSM CHK  bersama sejumlah awak media


Singkilnews.id- Direktur LSM Central Hukum & Keadilan (CHK)Razaliardi Dukung Bupati Aceh Singkil, terkait Penetapan Sekretaris Dewan Kabupaten Aceh Singkil, H. suwan S.pd,beberapa waktu yang lalu, akhirnya menjadi kemelut antara Bupati Aceh Singkil dengan pimpinan DPRK setempat. Pasalnya, ketiga pimpinan DPRK Aceh Singkil tersebut sepakat menolak dan tidak mengakui keberadaan sekwan yang baru ini.
Perseteruan antara bupati dengan ketiga pimpinan DPRK itu semakin memanas.Puncaknya, Rabu (12/6) dalam rapat paripurna DPRK Penyampaian Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Bupati Aceh Singkil Tahun Anggaran 2018,salah seorang pimpinan DPRK yang saat itu memimpin rapat paripurna langsung membaikot jalannya rapat.
Wakil Ketua DPRK, Juliadi yang mempimpin rapat tersebut memberitahukan bahwa penyampaian Laporan Keterangan Pertanggungjawaban bupati tidak akan dibahas sebelum bupati membatalkan pengangkatan sekwan yang baru, atau setidaknya bupati menunjuk Plt Sekwan.
“Rapat di skor sampai batas waktu yang tidak ditentukan”, katanya sambil mengetok palu dan langsung turun dari meja pimpinan rapat menuju ruangannya.Menanggapi masalah ini, Direktur LSM Central Hukum & Keadilan (CHK) Aceh Singkil, Razaliardi Manik menilai pimpinan sidang ketika itu kurang beretika.
“pimpinan sidang kok seperti itu. Seharusnya dewan bisa membedakan antara hak dan kewajiban mereka.Menurutnya, dewan harus memahami mana hak, dan yang mana kewajiban.Membahas LKPJ tahunan bupati itu adalah kewajiban dewan. “Kalau tidak mau lagi menjalankan kewajiban, seharusnya mereka jangan terima gaji
dong. Itu duit rakyat lo, rakyat yang menggaji mereka”, ujarnya.Benar memang, dewan dalam hal ini pimpinan DPRK mempunyai hak untuk mempersoalkan pengangkatan sekwan yang katanya tidak dikonsultasikan oleh
bupati kepada pimpinan DPRK sebagaimana yang diatur dalam perundang
undangan. Namun, tempatnya bukan pada saat rapat paripurna dalam rangka
penyampaian Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Bupati, tempatnya
bukan disitu.
Dewan kata Razaliardi bisa meminta keterangan kepada bupati dengan agenda yang
dikhususkan untuk membahas atas pelanggaran perundang-undangan yang dilakukan oleh bupati. Bahkan, jika memang benar bupati telah melakukan
pelanggaran terhadap perundang-undangan, dewan juga bisa melakukan
impeachment atau pemakzulan terhadap bupati.
“Jadi penolakan atas kebijakan bupati mengangkat sekwan bukan pada saat rapat
paripurna penyampaian Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Bupati
kemaren. Bukan disitu tempatnya”, papar Razaliardi.
Ketika ditanya soal saran bupati agar ketiga pimpinan dewan tersebut mengajukan
gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), mantan wartawan Harian
Angkatan Bersejata ini menyebutkan hal itu adalah merupakan langkah yang paling
tepat.
foto:paska sidang di gedung DPRK aceh singkil rabu(12/6/2019)

“Saya memberikan dukungan dan sependapat dengan bupati. Mari selesaikan lewat
jalur hukum, itu lebih baik dan lebih berartabat”, pungkasnya.
Tapi harus ingat. Jangan gara-gara perbedaan penafsiran dalam memaknai peraturan
dan perundang-undangan ini uang negara terkuras. Sebab, kata Razaliardi, yang
berperkara adalah antar lembaga pemerintah, tentu biaya perkaranya juga akan
ditanggung oleh negara.
Menurut pendapat Razaliardi, pengangkatan sekwan yang dilakukan oleh bupati
sudah sesuai aturan. Dalam Undang-Undang No 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh, disana disebutkan bupati hanya diminta berkonsultasi kepada
pimpinan DPRK. Arti berkonsultasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
adalah pertukaran pikiran untuk mendapatkan kesimpulan bagi pihak yang datang
berkonsultasi, dalam hal ini adalah bupati. Tapi bukan untuk mendapatkan
persetujuan.
“Berkonsultasi itu maknanya adalah meminta pendapat atau dialog, bukan
persetujuan. Dan menurut bupati hal tersebut sudah beliau lakukan. Soal pendapat itu
dijalankan atau diterima oleh bupati, itu tergantung bupati. Tidak ada kewajiban bupati
untuk harus menerima pendapat dari hasil berkonsultasi tersebut”, terangnya.
Lebih lanjut Razaliardi menyebutkan, berkonsultasi juga tidak harus formal, tapi bisa
informal, dan tempatnya bisa dimana saja. Tidak harus datang ke kantor, tidak harus
mengajukan surat permintaan resmi dan pakai berita acara segala.
“Dalam undang-Undang tidak ada disebutkan seperti itu, dalam penjelasan Undang-
Undang tersebut juga tidak ada pengaturan seperti itu. Silakan baca Undang-Undang
No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh beserta penjelasannya”, tutup
Razaliardi. (red)

Related

SOSIAL 9178059424245731326

Post a Comment

emo-but-icon

item