Direktur LSM CHK Dukung Bupati Aceh Singkil,Pimpinan DPRK silahkanTempuh Jalur Hukum
https://www.singkilnews.id/2019/06/direktur-lsm-chk-dukung-bupati-aceh.html
foto:Direktur LSM CHK bersama sejumlah awak media |
Singkilnews.id- Direktur LSM Central Hukum & Keadilan (CHK)Razaliardi Dukung Bupati Aceh Singkil, terkait Penetapan Sekretaris Dewan Kabupaten Aceh Singkil, H. suwan S.pd,beberapa waktu yang lalu, akhirnya menjadi kemelut antara Bupati Aceh Singkil dengan pimpinan DPRK setempat. Pasalnya, ketiga pimpinan DPRK Aceh Singkil tersebut sepakat menolak dan tidak mengakui keberadaan sekwan yang baru ini.
Perseteruan antara bupati dengan ketiga pimpinan DPRK itu
semakin memanas.Puncaknya, Rabu (12/6) dalam rapat paripurna DPRK Penyampaian
Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Bupati Aceh Singkil Tahun Anggaran
2018,salah seorang pimpinan DPRK yang saat itu memimpin rapat paripurna
langsung membaikot jalannya rapat.
Wakil Ketua DPRK, Juliadi yang mempimpin rapat tersebut
memberitahukan bahwa penyampaian Laporan Keterangan Pertanggungjawaban bupati
tidak akan dibahas sebelum bupati membatalkan pengangkatan sekwan yang baru,
atau setidaknya bupati menunjuk Plt Sekwan.
“Rapat di skor sampai batas waktu yang tidak ditentukan”,
katanya sambil mengetok palu dan langsung turun dari meja pimpinan rapat menuju
ruangannya.Menanggapi masalah ini, Direktur LSM Central Hukum & Keadilan
(CHK) Aceh Singkil, Razaliardi Manik menilai pimpinan sidang ketika itu kurang
beretika.
“pimpinan sidang kok seperti itu. Seharusnya dewan bisa
membedakan antara hak dan kewajiban mereka.Menurutnya, dewan harus memahami mana
hak, dan yang mana kewajiban.Membahas LKPJ tahunan bupati itu adalah kewajiban
dewan. “Kalau tidak mau lagi menjalankan kewajiban, seharusnya mereka jangan
terima gaji
dong. Itu duit rakyat lo, rakyat yang menggaji mereka”,
ujarnya.Benar memang, dewan dalam hal ini pimpinan DPRK mempunyai hak untuk mempersoalkan
pengangkatan sekwan yang katanya tidak dikonsultasikan oleh
bupati kepada pimpinan DPRK sebagaimana yang diatur dalam
perundang
undangan. Namun, tempatnya bukan pada saat rapat paripurna
dalam rangka
penyampaian Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ)
Bupati, tempatnya
bukan disitu.
Dewan kata Razaliardi bisa meminta keterangan kepada bupati
dengan agenda yang
dikhususkan untuk membahas atas pelanggaran
perundang-undangan yang dilakukan oleh bupati. Bahkan, jika memang benar bupati
telah melakukan
pelanggaran terhadap perundang-undangan, dewan juga bisa
melakukan
impeachment atau pemakzulan terhadap bupati.
“Jadi penolakan atas kebijakan bupati mengangkat sekwan
bukan pada saat rapat
paripurna penyampaian Laporan Keterangan Pertanggungjawaban
(LKPJ) Bupati
kemaren. Bukan disitu tempatnya”, papar Razaliardi.
Ketika ditanya soal saran bupati agar ketiga pimpinan dewan
tersebut mengajukan
gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), mantan
wartawan Harian
Angkatan Bersejata ini menyebutkan hal itu adalah merupakan
langkah yang paling
“Saya memberikan dukungan dan sependapat dengan bupati. Mari
selesaikan lewat
jalur hukum, itu lebih baik dan lebih berartabat”,
pungkasnya.
Tapi harus ingat. Jangan gara-gara perbedaan penafsiran
dalam memaknai peraturan
dan perundang-undangan ini uang negara terkuras. Sebab, kata
Razaliardi, yang
berperkara adalah antar lembaga pemerintah, tentu biaya
perkaranya juga akan
ditanggung oleh negara.
Menurut pendapat Razaliardi, pengangkatan sekwan yang
dilakukan oleh bupati
sudah sesuai aturan. Dalam Undang-Undang No 11 Tahun 2006
tentang
Pemerintahan Aceh, disana disebutkan bupati hanya diminta
berkonsultasi kepada
pimpinan DPRK. Arti berkonsultasi menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI)
adalah pertukaran pikiran untuk mendapatkan kesimpulan bagi
pihak yang datang
berkonsultasi, dalam hal ini adalah bupati. Tapi bukan untuk
mendapatkan
persetujuan.
“Berkonsultasi itu maknanya adalah meminta pendapat atau
dialog, bukan
persetujuan. Dan menurut bupati hal tersebut sudah beliau
lakukan. Soal pendapat itu
dijalankan atau diterima oleh bupati, itu tergantung bupati.
Tidak ada kewajiban bupati
untuk harus menerima pendapat dari hasil berkonsultasi
tersebut”, terangnya.
Lebih lanjut Razaliardi menyebutkan, berkonsultasi juga
tidak harus formal, tapi bisa
informal, dan tempatnya bisa dimana saja. Tidak harus datang
ke kantor, tidak harus
mengajukan surat permintaan resmi dan pakai berita acara
segala.
“Dalam undang-Undang tidak ada disebutkan seperti itu, dalam
penjelasan Undang-
Undang tersebut juga tidak ada pengaturan seperti itu.
Silakan baca Undang-Undang
No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh beserta
penjelasannya”, tutup
Razaliardi. (red)